Hidup di dunia ini hanya sementara. Walaupun sementara, tetapi ia merupakan sebuah jembatan menuju kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Karena itu kita harus mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk dibawa ke akhirat kelak. Yaitu dengan cara beribadah kepada Allah SWT, menjadikan diri sebagai hamba Allah SWT. Karena pada hakikatnya, manusia adalah hamba Allah. Dalam Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat [51] : 56 Allah SWT berfirman, yang artinya “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya beribadah kepadaku”
Untuk memahami secara mendasar mengenai hakikat hidup maka ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dipahami yaitu dari mana kita berasal, bagaimana dan untuk apa kita hidup, serta ke mana setelah mati nanti. Hal ini perlu kita pahami agar hidup kita di dunia ini menjadi terarah dengan baik. Tidak seperti layangan yang terputus, atau buih yang dihempaskan oleh gelombang laut atau bahkan seperti kapal tanpa nakhoda yang suatu saat bisa menabrak karang sehingga mengakibatkan kehancuran pada kapal tersebut.
Terkait dengan dari mana kita berasal, bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk cipataan Allah SWT. Manusia tidak hadir dengan sendirinya. Apalagi hasil dari evolusi makhluk dari satu bentuk ke bentuk lain. Banyak sekali ayat dalam Al-Qur’an maupun Hadits Rasul yang menyebutkan bahwa manusia adalah cipataan Allah SWT. Di antaranya terdapat Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2]: 21 yang artinya, “Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.”
Terkait dengan untuk apa dan bagaimana manusia ini hidup di dunia, maka jawabannya adalah untuk beribadah kepada Allah SWT dengan menjalankan segala perinta-Nnya dan menjauhkan segala larangan-Nya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Bayyinah [98]: 5, “Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya mereka beribadah (menyembah) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.”
Sedangkan pertanyaan yang terakhir terkait dengan ke mana manusia setelah mati, maka jawabannya adalah bahwa setelah mati akan ada hari kiamat / hari akhir. Hari tersebut merupakan hari yang didahului dengan musnahnya alam semesta ini. Sehingga seluruh makhluk hidup yang ada di bumi akan mati, dan bumi pun akan berganti, bukan seperti bumi atau langit yang kita rasakan saat ini. Selanjutnya Allah SWT menciptakan alam lain yaitu alam akhirat. Di sanalah manusia akan dihidupkan lagi setelah mati dan menjalani kehidupan yang kedua kalinya. Setiap jiwa akan ditimbang seluruh amalannya baik yang berupa kebaikan maupun keburukan. Selanjutnya manusia akan ditempatkan di surga atau neraka sesuai dengan timbangan amalannya semasa di dunia. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Mu’minun [23]: 15-16 yang artinya, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan dari kuburmu di Hari Kiamat.”
Di samping kita mempersiapkan diri untuk menuju kehidupan akhirat, kita tentu tidak boleh melupakan kehidupan dunia karena kehidupan dunia merupakan sarana untuk menuju kehidupan akhirat. Baik buruknya kehidupan kita di akhirat tidak terlepas dari baik atau buruknya kehidupan kita di dunia saat ini. Setiap usai sholat, kita sering berdoa agar Allah memberikan kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat. Sehingga kehidupan dunia dan kehidupan akhirat kita tidak menjadi timpang.
Seorang sahabat Nabi SAW, Abdullah bin Amr bin al-Ash r.a. pernah menyebutkan, “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati esok.” Ungkapan tersebut sangat tenar di kalangan kaum muslimin sehingga banyak yang menyebutkan bahwa ini adalah sebuah hadits meskipun sebenarnya bukan hadits Rasululullah. Meski demikian ungkapan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu penyemangat hidup kita sehingga kita rajin bekerja dan rajin beribadah. Bahkan pekerjaan yang sifatnya duniawi juga bisa dijadikan sebagai bagian dari ibadah kita kepada Allah untuk mempersiapkan hari akhir kelak. Caranya adalah dengan menjadikan segala aktivitas hanya untuk mendapatkan ridho Allah semata, lillahi ta’ala.
Melalui jawaban tentang tiga pertanyaan mendasar di atas yaitu “dari mana manusia berasal?”, “untuk apa manusia hidup?” dan “ke mana setelah mati?”, tersingkaplah dengan gamblang hakikat hidup seorang muslim, dari mana awalnya dan di mana ia akan berakhir. Sungguh hakikat hidup seorang muslim yakni untuk beribadah kepada Allah yang telah menciptakannya di dunia, agar kelak bisa hidup bahagia kekal abadi di surga. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan semacam ini, maka hidupnya tentu tidak terarah dan sia-sia karena tidak ada tujuan dan cita-citanya. Maka, hidup seorang muslim adalah hidup dengan misi yang agung, hidup yang terarah dan mantap, serta hidup yang bermutu tinggi dengan keyakinan akan kegemilangan hidup hakiki yang abadi di akhirat kelak.
Sebagai contoh ringan, makan. Pekerjaan yang kita kerjakan rutin setiap hari. Makanan yang kita makan akan bernilai ibadah jika kita makanan dengan harapan makanan tersebut menjadi energi bagi kita sehingga kita kuat melakukan ibadah mahdhoh, ibadah yang diperintahkan Allah dengan segala dalilnya dan ibadah ghoiru mahdhoh, pekerjaan harian yang dapat bernilai ibadah meskipun tidak ada dalil yang menerangkannya secara teknis. Misalkan mengajar. Kita mengajar orang lain untuk berbuat kebaikan, maka makan kita tadi dan tindakan kita mengajar pastinya akan bernilai kebaikan di hadapan Allah SWT.
Di samping ibadah dan amal, ada hal lain yang harus kita miliki sehingga penghambaan kita kepada Allah lebih sempurna, yaitu ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan sarana utama yang dapat menghantarkan kita kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah-, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Nawawi -rahimahullah- dalam kitab beliau Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (1/30) dan dalam Tahdzibul Asma` (1/74) disebutkan, “barang siapa yang menginginkan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menginginkan akhirat maka wajib baginya untuk memiliki ilmu pengetahuan, dan barang siapa yang menginginkan keduanya maka wajib baginya untuk memiliki ilmu.”
Tentu akan berbeda nilainya di sisi Allah, orang yang beribadah kepada Allah dengan dasar ilmu pengetahuan, dengan orang yang beribadah tanpa didasari ilmu pengetahuan. Karena Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu dan pastinya berbeda antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu. Sehingga Rasululah menyebutkan, “menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim”. (Shahihul Jami’ 3913)
Kesemuanya hal di atas dapat dipadukan dengan sebaik-baiknya. Dunia, akhirat, dan ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan utuh yang tidak boleh dipisah-pisahkan sehingga kita benar-benar mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Amal kita menjadi imaniah dan ilmiah, iman kita ilmiah dan amaliyah, begitu juga dengan ilmu kita menjadi imaniyah dan amaliyah. Dengan demikian seluruh aspek kehidupan kita akan bernilai penghambaan kepada Allah SWT. Dan itulah hakikat hidup manusia.