Menulis dengan Hati, Menyeru dengan Hikmah

~ InspirAzis ~

Menulis dengan Hati, Menyeru dengan Hikmah

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Payung yang Ditelantarkan

Beberapa waktu lalu, tepatnya di akhir bulan Maret 2021 terlihat ada tiga buah payung yang berada di bawah tangga kuttab. Posisinya menurut saya bukan posisi yang baik, tergeletak begitu saja di antar sandal-sandal yang juga tidak tertata rapi. Saya menduga payung tersebut ditinggalkan oleh santri. Ketepatan saat itu ada kegiatan mabit santri, bermalam di kuttab, dan sebelumnya hujan mengguyur kuttab dan sekitarnya. Barangkali mereka menganggap bahwa di situlah tempat yang tepat untuk meletakkannya. Wajar juga karena memang mereka masih anak-anak yang masih berproses menuju tamyiz, mampu membedakan yang benar dan yang salah.

Hanya saja pikiran kita sebagai orang dewasa bisa jadi berbeda. Sehingga tidak heran jika tim kebersihan yang menjadi garda terdepan menjaga kebersihan dan kerapian kuttab menaikkan gambar tersebut ke whatsapp grup kuttab. Tujuannya saya yakin baik, agar guru-guru mengingatkan para santri meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, khususnya payung. Diksi yang digunakan penuh ungkapan makna dan rasa. “Di saat hujan engkau membutuhkan dan mencariku, tetapi di saat tidak hujan engkau menelantarkanku”. Karena itu saya beri catatan ini dengan judul “payung yang ditelantarkan”.

Payung di sini sebenarnya satu dari sekian kejadian yang serupa. Kalau kita menyebutkan sarana dan prasarana yang ada, barangkali ada hal lain yang terabaikan setelah digunakan, tidak dirapikan lagi, dan tidak dikembalikan pada tempatnya. Sebut saja semisal sandal, karpet, pembatas, kursi, meja, gelas, piring, dan lain-lain. Yang menjadi kegiatan rutin tim kerumahtanggaan dan kebersihan untuk merapikannya kembali. Hal ini juga tentunya menjadi ujian bagi semua pihak baik santri maupun guru dalam hal kedisiplinan dan tanggung jawab.

Hal ini menurut saya adalah hal yang kecil dan sepele. Hanya saja kalau kita mau mengambil ibrah, di dalamnya terdapat pembelajaran yang sangat penting untuk diri kita. Nalar logika manusia tentunya menilai payung adalah sebuah benda mati. Bagaimana jika payung tersebut adalah benda hidup yang memiliki akal dan hati, yang mampu berpikir dan merasa. Mungkin si payung akan bersedih dan menangis atau bahkan marah dan memberontak. Karena setalah diambil manfaatnya, langsung ditelantarkan begitu saja.

Dalam kehidupan sosial, hal yang seperti ini banyak juga terjadi. Dalam pertemanan, kita hanya mendekati teman kalau ada perlu. Di lingkungan keluarga, kita bersilaturahmi ke saudara hanya ketika kita ada mau. Kita hadir ke tetangga hanya di saat membutuhkan sesuatu. Di lingkungan pekerjaan, kita mendekati rekan hanya ketika butuh bantuan. Kita hanya mendekati pimpinan hanya ketika ingin naik posisi. Setelah naik jabatan, kita melupakan jasa orang-orang yang dulu pernah mengangkat kita. Ketika berguru, kita hanya hormat kepada guru yang sedang mengajar kita, dan melupakannya ketika belajar kepada orang lain.

Jika kita adalah orang yang terabaikan, maka kita ibarat payung yang terabaikan tadi. Oleh karena, saya menasihati diri sendiri khususnya, dan yang membaca catatan ini agar jangan kiranya kira sampai mengabaikan orang lain, setelah kita mengambil faedah darinya. Karena sangat tidak mengenakkan jika kita berada pada posisi tersebut. Bisa jadi hal tersebut menghilangkan keikhlasan, dan bahkan dapat menghadirkan perasaan sedih, kecewa, dan marah.

Bagaimana jika kita berada posisi seperti payung yang ditelantarkan? Maka obat yang paling mujarab untuk menghilangkan rasa kekesalan dan kekecewaan adalah dengan memaafkan. Dan pastinya kita hadirkan mereka dalam doa-doa panjang kita agar mereka tidak melakukannya lagi baik terhadap diri kita dan orang lain. Dengan seperti itu maka dada kita akan terasa lapang dan lega karena tidak ada lagi amarah bersemayam dalam hati yang membuat hidup kita tertekan. Bukankan Allah subhanahuwata’ala telah menjanjikan cinta bagi orang yang berbuat kebaikan? Di mana salah satu karakternya adalah menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. (wallahu a’lam)  

Azis Nangin Abu Alawy
Bukit Amasya, 21 April 2021.

Share:

Guru Harus Memahami Murid?

Dalam kamus pendidikan atau bimbingan konseling barangkali seorang kita sering mendapatkan istilah atau tuntutan bahwa seorang guru harus memahami murid. Pernyataan itu memang ada benarnya karena guru juga perlu memahami situasi dan kondisi seorang murid. Sang guru ketika memberi pengajaran atau memberi nasihat, bisa bersikap sesuai dengan keadaan muridnya. Yang pada akhirnya apa yang disampaikan oleh seorang guru dapat diterima oleh murid-muridnya dengan baik.

Tidak hanya dalam proses pembelajaran, tetapi juga dalam memahami karakter seorang murid. Hal tersebut dalam lembaga-lembaga pendidikan formal, tentunya akan sering dirasakan oleh seorang guru kelas atau guru bimbingan konseling. Terutama Ketika mereka menghadapi anak-anak yang bermasalah. Maka sang guru akan berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk mengetahui kenapa si murid melakukan ini dan melakukan itu.

Tapi pernyataan itu tidak boleh ditelan bulat-bulat, ditelan mentah-mentah, atau ditelan utuh tanpa penjelasan. Jika ditelan utuh maka betapa merepotkan seorang guru untuk memahami puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan murid dalam satu Lembaga Pendidikan. Dan pastinya para murid akan memiliki pelbagai problematik diri dan kehidupan masing-masing.

Dan akan lebih parah lagi ketika konsep tersebut diterapkan maka sebuah lembaga pendidikan akan menjadi budak bagi para muridnya-muridnya. Apalagi jika ada lembaga pendidikan tersebut memiliki orientasi bisnis. Layaknya dalam jual beli, maka lembaga pendidikan akan berperan sebagai penjual. Maka apa kata pembeli, “pembeli adalah raja”. Jadi murid akan menjadi raja bagi para guru.

Sebuah lembaga pendidikan perlu menaikkan levelnya ke jenjang yang lebih tinggi atau ke arah sebaliknya. Muridlah yang harus memahami guru. Konsep ini bisa diterapkan pada semua level usia baik anak-anak, remaja, maupun dewasa atau pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Bahkan pada pendidikan-pendidikan non formal seperti pengajian umum atau pengajian terbatas juga kursus-kursus, konsep ini dapat diterapkan. Pada tataran ini, sebuah lembaga pendidikan tidak akan lagi, seperti dalam pasar, menganggap murid adalah pelanggan.

Pernahkah Anda membayangkan ketika guru sedang mengajar dan terlihat letih, dengan bersegera sang murid berlomba untuk mengambil minum untuk sang guru? Ketika guru turun dari kendaraan, sang murid berlomba-lomba membawakan tas gurunya. Ketika guru sedang keletihan, para murid akan berlomba memijat bahu sang guru. Ketika wajah sang guru sedang terlihat lesu sang murid langsung memberikan hiburan agar sang guru menjadi ceria.

Terlihat seperti sebuah khayalan memang. Tetapi suasana itu bukan tidak mungkin terjadi, dan memang harus dibangun. Ketika konsep murid harus memahami guru maka benar-benar dapat diterapkan, suasana belajar mengajar atau akan jauh terasa lebih mudah dan menyenangkan. Sang guru tidak akan terbebani dengan permasalahan-permasalahan murid, begitu pun murid, akan lebih siap mendapatkan pengajaran dari para guru mereka.

Bagaimana konsep ini dapat dibangun? Tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Ia merupakan proses yang panjang dan membutuhkan energi besar. Penanaman konsep ini harus ditanamkan sejak dini bahkan sejak anak belum masuk belajar ke lembaga-lembaga pendidikan. Para orang tua terlebih dahulu yang menanamkannya di rumah. Kemudian di lembaga pendidikan dasar mulai diajarkan adab-adab menuntut ilmu dan adab-adab kepada guru. Pada jenjang pendidikan mengah dan tinggi, dikuatkan dengan penguatan ilmu-ilmu tentang adab penuntut ilmu.

Bahwa jika ingin mendapatkan keberkahan dan manfaat ilmu yang besar maka seorang murid haruslah hormat dan patuh kepada guru. Penghormatan tanpa batas dan kepatuhan tanpa bantahan sedikit pun. Guru di tempat belajar dan orang tua di rumah harus diposisikan pada posisi yang sama. Karena hakikat seorang guru adalah juga orang tua bagi para murid.

Dengan diterapkannya konsep murid yang memahami guru, tidak akan lagi ditemukan ada kasus di mana ada murid yang semena-mena terhadap guru. Kita tidak akan lagi menemukan ada murid yang mem-bully guru. Kita juga tidak akan lagi mendengarkan berita di mana ada murid yang baku hantam dengan gurunya. Atau tidak lagi menemukan ada kasus di mana ada guru yang dilaporkan ke pihak yang berwajib karena menghukum muridnya. Semua terjadi karena murid tidak memahami guru dan tidak memiliki adab yang baik terhadap guru mereka.

Semarang, 18 April 2021
Share: