Membangun rasa itu bukanlah perkara yang mudah. Ia membutuhkan latihan spiritual/ruhiyah yang serius sehingga kita benar-benar bisa mengelola rasa itu dengan baik. Namun jika dilatih secara terus-menerus, maka atas izin Allah Swt maka rasa itu pasti bisa diasah seperti kita mengasah pisau. Meski awalnya tumpul namun jika diasah dengan baik, maka pisau itu pada akhirnya akan tajam juga. Betapa tidak sedikit manusia yang disinggung sedikit bahkan tanpa kata-kata pun bisa langsung merasa. Sebaliknya, tidak sedikit juga orang, meski sudah “dipalu” tapi tetap juga tidak merasa. Hingga akhirnya dalam istilah sehari-hari kita mendengar ada istilah “mati rasa” gelar yang disematkan bagi orang-orang yang tidak memeliki perasaan.
Salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk membangun rasa itu adalah dengan cara berempati yaitu mencoba memposisikan diri seperti posisi yang sedang dirasakan orang lain. Meski kita seorang yang kaya, cobalah sesekali merasakan bagaimana seandainya kita menjadi orang miskin; meski kita jadi mahasisiwa, cobalah sesekali kita merasakan bagaimana rasanya jika kita yang menjadi dosennya; jika kita seorang atasan, bagaimana rasanya seandainya jika kita yang menjadi bawahan; jika kita seorang anak, bagaimana rasanya seandainya kita yang menjadi orang tua; jika kita seorang suami, bagaimana rasanya seandanya kita yang menjadi istri .
Betapa susuahnya menjadi orang miskin namun setiap hari dituntut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dengan biaya yang tidak sedikit. Betapa repotnya seorang dosen yang setiap hari selalu berfikir keras bagaimana untuk mencerdaskan mahasiswanya selain harus terus berkreasi untuk memunculkan ilmu-ilmu baru. Bagaimana tidak enaknya menjadi bawahan jika selalu dituntut mengerjakan ini mengerjakan yang itu. Bagaimana kerja keras orang tua untuk mendidik dan memenuhi kebutuhan putra-putrinya. Bagaimana beratnya menjadi seorang istri dengan dengan segala upaya berusaha membahagiakan seorang suami dan anak-anaknya dengan segala tuntutan pekerjaan, belum lagi kalau istri kita adalah seorang pekerja yang juga pasti mendapatkan beban pekaerjaan yang tidak sedikit.
Dengan cara seperti itu, paling tidak kita bisa merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Sehingga tidak mudah bagi kita untuk selalu menyalah-nyalahkan orang lain atau bahkan samapai mengumpat orang yang mungkin tidak sesuai seperti yang kita harapkan. Barangkali ada alasan lain yang menyebabkan orang itu melakukan sesuatu yang menurut kita tidak pas. Dengan begitu mudah-mudahan kita bisa mengasah rasa dalam diri sehingga tidak menjadi orang yang “mati rasa” atau dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah "ora ndue roso". Jika rasa sudah tertanam dengan baik pada diri, tentu kita akan dengan mudah bisa memposisikan diri dan tahu apa yang seharusnya kita lakukan. Wallahu A'lam
Manajemen Rasa #1
Bukit Kencana, 11 April 2014
Pkl. 06.03 Wib