Beberapa waktu lalu, tepatnya di akhir bulan Maret 2021 terlihat ada tiga buah payung yang berada di bawah tangga kuttab. Posisinya menurut saya bukan posisi yang baik, tergeletak begitu saja di antar sandal-sandal yang juga tidak tertata rapi. Saya menduga payung tersebut ditinggalkan oleh santri. Ketepatan saat itu ada kegiatan mabit santri, bermalam di kuttab, dan sebelumnya hujan mengguyur kuttab dan sekitarnya. Barangkali mereka menganggap bahwa di situlah tempat yang tepat untuk meletakkannya. Wajar juga karena memang mereka masih anak-anak yang masih berproses menuju tamyiz, mampu membedakan yang benar dan yang salah.
Hanya saja pikiran kita sebagai orang dewasa bisa jadi berbeda. Sehingga tidak heran jika tim kebersihan yang menjadi garda terdepan menjaga kebersihan dan kerapian kuttab menaikkan gambar tersebut ke whatsapp grup kuttab. Tujuannya saya yakin baik, agar guru-guru mengingatkan para santri meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, khususnya payung. Diksi yang digunakan penuh ungkapan makna dan rasa. “Di saat hujan engkau membutuhkan dan mencariku, tetapi di saat tidak hujan engkau menelantarkanku”. Karena itu saya beri catatan ini dengan judul “payung yang ditelantarkan”.
Payung di sini sebenarnya satu dari sekian kejadian yang serupa. Kalau kita menyebutkan sarana dan prasarana yang ada, barangkali ada hal lain yang terabaikan setelah digunakan, tidak dirapikan lagi, dan tidak dikembalikan pada tempatnya. Sebut saja semisal sandal, karpet, pembatas, kursi, meja, gelas, piring, dan lain-lain. Yang menjadi kegiatan rutin tim kerumahtanggaan dan kebersihan untuk merapikannya kembali. Hal ini juga tentunya menjadi ujian bagi semua pihak baik santri maupun guru dalam hal kedisiplinan dan tanggung jawab.
Hal ini menurut saya adalah hal yang kecil dan sepele. Hanya saja kalau kita mau mengambil ibrah, di dalamnya terdapat pembelajaran yang sangat penting untuk diri kita. Nalar logika manusia tentunya menilai payung adalah sebuah benda mati. Bagaimana jika payung tersebut adalah benda hidup yang memiliki akal dan hati, yang mampu berpikir dan merasa. Mungkin si payung akan bersedih dan menangis atau bahkan marah dan memberontak. Karena setalah diambil manfaatnya, langsung ditelantarkan begitu saja.
Dalam kehidupan sosial, hal yang seperti ini banyak juga terjadi. Dalam pertemanan, kita hanya mendekati teman kalau ada perlu. Di lingkungan keluarga, kita bersilaturahmi ke saudara hanya ketika kita ada mau. Kita hadir ke tetangga hanya di saat membutuhkan sesuatu. Di lingkungan pekerjaan, kita mendekati rekan hanya ketika butuh bantuan. Kita hanya mendekati pimpinan hanya ketika ingin naik posisi. Setelah naik jabatan, kita melupakan jasa orang-orang yang dulu pernah mengangkat kita. Ketika berguru, kita hanya hormat kepada guru yang sedang mengajar kita, dan melupakannya ketika belajar kepada orang lain.
Jika kita adalah orang yang terabaikan, maka kita ibarat payung yang terabaikan tadi. Oleh karena, saya menasihati diri sendiri khususnya, dan yang membaca catatan ini agar jangan kiranya kira sampai mengabaikan orang lain, setelah kita mengambil faedah darinya. Karena sangat tidak mengenakkan jika kita berada pada posisi tersebut. Bisa jadi hal tersebut menghilangkan keikhlasan, dan bahkan dapat menghadirkan perasaan sedih, kecewa, dan marah.
Bagaimana jika kita berada posisi seperti payung yang ditelantarkan? Maka obat yang paling mujarab untuk menghilangkan rasa kekesalan dan kekecewaan adalah dengan memaafkan. Dan pastinya kita hadirkan mereka dalam doa-doa panjang kita agar mereka tidak melakukannya lagi baik terhadap diri kita dan orang lain. Dengan seperti itu maka dada kita akan terasa lapang dan lega karena tidak ada lagi amarah bersemayam dalam hati yang membuat hidup kita tertekan. Bukankan Allah subhanahuwata’ala telah menjanjikan cinta bagi orang yang berbuat kebaikan? Di mana salah satu karakternya adalah menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. (wallahu a’lam)
Azis Nangin Abu Alawy
Bukit Amasya, 21 April 2021.
0 Comments:
Posting Komentar