Dalam kamus pendidikan atau bimbingan konseling barangkali seorang kita sering mendapatkan istilah atau tuntutan bahwa seorang guru harus memahami murid. Pernyataan itu memang ada benarnya karena guru juga perlu memahami situasi dan kondisi seorang murid. Sang guru ketika memberi pengajaran atau memberi nasihat, bisa bersikap sesuai dengan keadaan muridnya. Yang pada akhirnya apa yang disampaikan oleh seorang guru dapat diterima oleh murid-muridnya dengan baik.
Tidak hanya dalam proses pembelajaran, tetapi juga dalam memahami karakter seorang murid. Hal tersebut dalam lembaga-lembaga pendidikan formal, tentunya akan sering dirasakan oleh seorang guru kelas atau guru bimbingan konseling. Terutama Ketika mereka menghadapi anak-anak yang bermasalah. Maka sang guru akan berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk mengetahui kenapa si murid melakukan ini dan melakukan itu.
Tapi pernyataan itu tidak boleh ditelan bulat-bulat, ditelan mentah-mentah, atau ditelan utuh tanpa penjelasan. Jika ditelan utuh maka betapa merepotkan seorang guru untuk memahami puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan murid dalam satu Lembaga Pendidikan. Dan pastinya para murid akan memiliki pelbagai problematik diri dan kehidupan masing-masing.
Dan akan lebih parah lagi ketika konsep tersebut diterapkan maka sebuah lembaga pendidikan akan menjadi budak bagi para muridnya-muridnya. Apalagi jika ada lembaga pendidikan tersebut memiliki orientasi bisnis. Layaknya dalam jual beli, maka lembaga pendidikan akan berperan sebagai penjual. Maka apa kata pembeli, “pembeli adalah raja”. Jadi murid akan menjadi raja bagi para guru.
Sebuah lembaga pendidikan perlu menaikkan levelnya ke jenjang yang lebih tinggi atau ke arah sebaliknya. Muridlah yang harus memahami guru. Konsep ini bisa diterapkan pada semua level usia baik anak-anak, remaja, maupun dewasa atau pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Bahkan pada pendidikan-pendidikan non formal seperti pengajian umum atau pengajian terbatas juga kursus-kursus, konsep ini dapat diterapkan. Pada tataran ini, sebuah lembaga pendidikan tidak akan lagi, seperti dalam pasar, menganggap murid adalah pelanggan.
Pernahkah Anda membayangkan ketika guru sedang mengajar dan terlihat letih, dengan bersegera sang murid berlomba untuk mengambil minum untuk sang guru? Ketika guru turun dari kendaraan, sang murid berlomba-lomba membawakan tas gurunya. Ketika guru sedang keletihan, para murid akan berlomba memijat bahu sang guru. Ketika wajah sang guru sedang terlihat lesu sang murid langsung memberikan hiburan agar sang guru menjadi ceria.
Terlihat seperti sebuah khayalan memang. Tetapi suasana itu bukan tidak mungkin terjadi, dan memang harus dibangun. Ketika konsep murid harus memahami guru maka benar-benar dapat diterapkan, suasana belajar mengajar atau akan jauh terasa lebih mudah dan menyenangkan. Sang guru tidak akan terbebani dengan permasalahan-permasalahan murid, begitu pun murid, akan lebih siap mendapatkan pengajaran dari para guru mereka.
Bagaimana konsep ini dapat dibangun? Tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Ia merupakan proses yang panjang dan membutuhkan energi besar. Penanaman konsep ini harus ditanamkan sejak dini bahkan sejak anak belum masuk belajar ke lembaga-lembaga pendidikan. Para orang tua terlebih dahulu yang menanamkannya di rumah. Kemudian di lembaga pendidikan dasar mulai diajarkan adab-adab menuntut ilmu dan adab-adab kepada guru. Pada jenjang pendidikan mengah dan tinggi, dikuatkan dengan penguatan ilmu-ilmu tentang adab penuntut ilmu.
Bahwa jika ingin mendapatkan keberkahan dan manfaat ilmu yang besar maka seorang murid haruslah hormat dan patuh kepada guru. Penghormatan tanpa batas dan kepatuhan tanpa bantahan sedikit pun. Guru di tempat belajar dan orang tua di rumah harus diposisikan pada posisi yang sama. Karena hakikat seorang guru adalah juga orang tua bagi para murid.
Dengan diterapkannya konsep murid yang memahami guru, tidak akan lagi ditemukan ada kasus di mana ada murid yang semena-mena terhadap guru. Kita tidak akan lagi menemukan ada murid yang mem-bully guru. Kita juga tidak akan lagi mendengarkan berita di mana ada murid yang baku hantam dengan gurunya. Atau tidak lagi menemukan ada kasus di mana ada guru yang dilaporkan ke pihak yang berwajib karena menghukum muridnya. Semua terjadi karena murid tidak memahami guru dan tidak memiliki adab yang baik terhadap guru mereka.
Semarang, 18 April 2021
0 Comments:
Posting Komentar