Orang Batak Percaya bahwa di luar dirinya terdapat suatu kekuatan pencipta alam semesta dan segala isinya. Dalam mitologi orang Batak, bumi dibentuk oleh penguasa alam semesta yang bernama Debata Mulajadi Nabolon. Marpodang (1992: 169) menyebutkan bahwa Debata Mulajadi Nabolon merupakan oknum yang menjadikan segala sesuatu menjadi ada dan hanya dia sajalah yang permulaan segala sesuatu yang ada. Ciptaannya yang pertama adalah Manukmanuk (burung) Hulanbujati, yang berparuh besi, berkuku gelang, yang berkilauan. Suatu ketika Manukmanuk Hulanbujati bertelur sebanyak tiga butir. Melalui telurnya ini muncul dan berkembanglah Debata Bataraguru, Debata Sorisohaliapan, dan Debata Balabulan. Yang kemudian dikenal dengan Debata Natolu, yang tiga kuasa.
Pembentukan bumi dilakukan karena adanya permintaan dari Si Boru Deak Parujar, putri dari Debata Batara Guru, kepada Debata Mulajadi Nabolon. Ia meminta agar diberikan dunia baru sebagai tempat untuk mengekspresikan diri. Naiposos (2007) menyebutkan bahwa sebelum Si Boru Deak Parujar turun ke bumi, di kayangan sudah dilangsungkan pertunangan antara Si Boru Deak Parujar dengan Raja Odapdap, keturunan dari Manukmanuk Hulanbujati dari telur kedua. Kendati pertunangan terus dilangsungkan namun Si Boru Deak Parujar tidak menghendaki pertunangan itu, sehingga ia pun mencari jalan keluar dapat keluar dari ikatan itu. Salah satu caranya adalah dengan meminta agar Debata Mulajadi Nabolon menciptakan bumi.
Setelah planet bumi terbentuk, Si Boru Daek Parujar turun ke Bumi dan ia dianggap sebagai leluhur pertama manusia. Ketika Si Boru Daek Parujar turun ke bumi yang dibentuk oleh Debata Mulajadi Nabolon, ternyata bumi masih kosong tanpa penghuni dan ia pun hidup sendirian. Karena tidak ada makhluk lain yang menghuni bumi, Si Boru Daek Parujar merasa kesepian.
Sementara itu, bumi tempatnya berpijak selalu mendapat ancaman dari Naga Padohaniaji, keturunan dari Debata Balabulan. Gangguan itu dilakukan karena cinta Si Naga Padohaniaji pernah ditolak oleh Si Boru Daek Parujar. Karena merasa terganggu dengan ulah Naga Padohaniaji, Si Boru Daek Parujar meminta pertolongan kepada Mulajadi Nabolon untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dengan maksud agar Naga Padohaniaji tidak lagi mengganggunya (Naipospos, 2007)
Mendengar permintaan itu, Mulajadi Nabolon pun merestui Raja Odapodap turun ke bumi untuk mencari dan menemui cintanya yang hilang, yaitu dengan cara membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh Si Boru Daek Parujar dari gangguan Naga Padohaniaji yang sedang patah hati.
Dalam persepsi Raja Odapodap, penyendirian Si Boru Daek Parujar ke bumi merupakan bentuk penolakan atas pertunangan yang sudah dilakukan itu. Karena Mulajadi Nabolon merestui Raja Odapodap turun ke bumi, ia pun melaksanakan restu itu dengan menghilangkan perasaan pernah ditolak tadi. Kemudian, dalam perjalanannya dua keturunan dewata yang berbeda jenis kelamin ini, dan setelah Raja Odapodap selalu bersama-sama dengan Si Boru Daek Parujar di bumi, akhirnya rasa saling membutuhkan pun tercipta. Benih-benih cinta dari Si Boru Daek Parujar kepada Raja Odapodap pun lambat laun bertumbuh. Selanjutnya, cinta mereka berdua yang bertumbuh akibat kebersamaan dan saling membutuhkan itu kemudian menyatu dalam pernikahan pertama yang berlangsung di permukaan bumi.
Ketiak Si Boru Daek Parujar tinggal di bumi sampai anak pertamanya lahir sebagai buah dari hasil perkawinannya dengan Raja Odapodap, tumbuh-tumbuhan di bumi ini belum ada. Setelah Si Boru Daek Parujar mengandung, anak pertama mereka pun lahir. Namun sangat disayangkan, ternyata anak yang dilahirkan dari pernikahan pasangan pertama di bumi ini tidak seperti mereka harapkan. Wujud dari anak yang dilahirkan oleh Si Boru Daek Parujar tidak seperti manusia biasa, melainkan sebuah benda berbentuk bulat, tidak berkepala, tidak bertangan, tidak berkaki dan tidak memiliki wajah serta perangkat tubuh lainnya. Hal ini mengecewakan kedua pasangan itu. (Naipospos 2007; Marpodang 1992, 198)
Menghadapi kondisi anak seperti ini, Si Boru Daek Parujar menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa serta dikemanakan anak yang malang itu. Kemudian, Si Boru Daek Parujar pun kembali meminta petunjuk kepada Mulajadi Nabolon tentang nasib anak yang dilahirkannya itu.
Mulajadi Nabolon memberi petunjuk agar anak itu ditanamkan ke bumi. Setelah Si Boru Daek Parujar menanam anaknya ke bumi menuruti petunjuk Mulajadi Nabolon, tidak lama kemudian tumbuhlah pepohonan dan berbagai jenis tumbuhan lain di permukaan bumi hingga ke dalam air. Oleh karena itu, tumbuh-tumbuhan yang termasuk yang ada di kawasan hutan dapat dianggap sebagai saudara tua manusia dalam mitologi orang Batak (Naipospos, 2007).
Pengakuan itu timbul karena proses terbentuknya hutan atau tumbuh-tumbuhan identik dengan proses pertumbuhan dan perkembangan kelompok orang Batak di jagat raya ini; keduanya berasal dari sumber yang sama. Pesan yang hendak disampaikan dari proses tumbuhnya pepohonan di bumi ialah agar manusia dalam memperlakukan alam dan tumbuhan-tumbuhan lain haruslah bijaksana layaknya memperlakukan saudaranya sendiri.
Berdasarkan mitologi itu, tumbuh-tumbuhan merupakan jelamaan dari anak pertama yang terlahir dari pasangan Si Boru Daek Parujar dengan suaminya, Raja Odapodap. Kemudian anak kedua dari pasangan pertama di bumi ini adalah anak kembar, yang mereka beri nama dengan Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia. Pasangan manusia pertama ini pula yang menurunkan Raja Batak sebagai generasi keenam dan menjadi genealogis orang Batak. (Thompson, 2007)
Kepada kedua anak kembarnya ini, Si Boru Daek Parujar berpesan agar mereka memelihara seluruh apa yang ada di bumi karena hubungan manusia dengan para dewa dewi yang berada di alam dewata terbatas. Mereka tidak lagi mudah meminta petunjuk atau pertolongan secara langsung kepada Mulajadi Nabolon apabila bumi mengalami ketidakseimbangan atau permasalahan yang pernah dialami oleh Si Boru Daek Parujar. Agar bumi terus terpelihara dengan baik, anak manusia itu harus memeliharanya.
Pesan yang disampaikan oleh Si Boru Daek Parujar kepada anak kembarnya ini dapat diinterpretasikan bahwa tumbuh-tumbuhan yang ada di permukaan bumi ini merupakan “saudara” anak kembar itu, dilihat dari proses terbentuknya tumbuh-tumbuhan tersebut. (Naipospos, 2007)
Demikian juga dengan makna yang ada di dalam mitologi itu, sebenarnya bermaksud agar orang Batak dalam memperlakukan tumbuh-tumbuhan tidak semaunya sendiri karena merusak tumbuh-tumbuhan secara sembarangan berarti ia menyakiti saudaranya sendiri.
Dengan adanya kearifan ekologi seperti di atas menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan secara arif sudah terpola sejak orang Batak hadir di muka bumi. Sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh Si Boru Daek Parujar kepada keturunannya yang meminta agar memelihara bumi dengan segala isinya secara baik dan berkesinambungan.
Kewajiban untuk memelihara bumi bermakna juga bahwa Si Boru Daek Parujar memberi warisan bagi Raja Ihat Manisia dan keturunannya dengan konsekuensi; siapa pun yang mencoba merusak bumi dengan segala isinya kelak akan dihukum oleh Mulajadi Nabolon. Hukuman kepada manusia dapat melalui berbagai bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor. Jadi, bumi atau alam raya ini terjadi berdasarkan kebijakan Debata Mulajadi Nabolon.
Daftar Bacaan:
Marpodang, DJ Gultom Raja, 1992, “Dalihan Natolu, Nilai Budaya Suku Batak”, Medan: Armanda.
Naipospos, Monang, 2007, “Kearifan Lokal Budaya Batak Mengelola Lingkungan”, dalam http://tanobatak.wordpress.com/2007/06/20/kearifan-budaya-batak-mengelola-lingkungan/ diakses pada 07 Juni 2012
Thompson Hs, 2007, “Pusuk Buhit, Gunung Leluhur Batak”, dalam http://tanobatak.wordpress.com/2007/07/20/pusuk-buhit-gunung-leluhur-batak/ diakses pada 07 Juni 2012
salam hangat! :)
BalasHapus