Oleh: Syah Azis Nangin
Alhamdulillah akhirnya tiba juga di kampus. Kampus yang aku cintai, tempatku menimba ilmu untuk harapan masa depanku. Plang gapuranya senantiasa mengingatkanku agar sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, dilandasi keimanan kapada Allah, dan senantiasa berbagi kepada sesama makhluk-Nya terutama manusia. “Diniyah – Ilmiyah – Ukhuwah”. Hanya terdiri dari tiga kata tapi memiliki makna dan pengaruh yang luar bisa terhadap siapa saja yang masuk ke dalam kampus ini.
Perasaanku mulai lega setelah turun dari bis DAMRI jurusan Pucang Gading – Ngaliyan. Walaupun tadinya AC bis terasa dingin, tapi badanku tetap saja terasa gerah khawatir hari ini aku terlambat masuk kelas. Jalanan yang ramai menyebabkan bus berjalan lambat. Maklum masih pagi-pagi, semua orang berangkat kerja dan mungkin khawatir terlambat juga.
Dengan langkah yang terburu-buru aku berjalan menuju ruangan kelas tempatku kuliah hari ini. Jaraknya dari gapura masih sekitar 300 meter membuatku harus berjalan tergesa-gesa. Walau masih sekitar pukul tujuh pagi tetapi matahari sudah tidak lagi bersahabat. Teriknya membuat keringatku bercucuran seperti orang yang habis mandi dan tidak menggunakan handuk. Untung pagi ini aku bawa topi patku yang mungil jadi bisa sedikit melindungi kepala dan muka dari sengatan matahari yang terasa menampar pipiku.
Sepertinya hari ini aku benar-benar terlambat. Tidak ada lagi teman–teman yang duduk bercengkerama di depan teras kelas. Biasanya sebelum masuk kami menunggu dosen di depan kelas sambil berbincang-bincang sekedar menghilangkan rasa kangen dengan sesama teman-teman atau berdiskusi tentang pelajaran. Tapi, pagi ini aku tidak sempat melihat sesosok pun di depan kelas karena memang aku datang kesiangan hari ini.
Sejenak kulihat hand phoneku yang selama ini kujadikan sebagai alternatif pengganti jam tangan. Ternyata masih pukul 07.05 Wib. Baru terlambat lima menit tapi dari kaca jendela terlihat Pak Sudi seorang dosen entrepreneurship sedang membacakan daftar hadir mahasiswa. Kebetulan ruangan kelas tempatku kuliah pagi ini dan hanya setengah tembok jadi keadaan kelas jelas terlihat dari luar bahkan suara dari dalam ruangan pun terdengar jelas dari luar.
“Marvel... Tunggu!”
Tiba-tiba aku mendengar ada suara sumbang memanggilku. Aku langsung menorehkan pandanganku mencari sumber suara itu. Benar, ternyata dia Andi teman sekelasku juga yang juga ketua komting kelas. Dari jauh kelihatan Andi berjalan dari arah kantor dekanat. Ada apa gerangan, tiba-tiba ia menyeruku seakan mencegahku untuk tidak masuk kelas. Padahal aku sudah terburu-buru masuk kelas.
“Vel. Kamu diminta pak dekan menghadap sekarang”
Tanpa basa-basi ia langsung menodongkan kata-kata itu kepadaku. Kelihatannya penting sekali. Tidak bisa ditunda.
“Tapi kita kan sudah terlambat, nanti aja lah”, aku mencoba berkilah
“Kata pak dekan penting, sebentar lagi ia mau ke luar”, Andi mencoba memberi penegasan terhadap perintah pak dekan.
“Ya sudah, aku ke sana sekarang”
Tanpa menghiraukan kelas aku langsung menuju kantor mencari pak dekan. Aku merasa seruan pak dekan lebih penting daripada pelajaran. Paling-paling juga sebentar, mungkin ada informasi penting buatku sedangkan pak dekan memang super sibuk jadi aku harus menghadapnya sekarang juga. Aku masih penasaran ada perlu apa sampai pak dekan memanggilku. Aku melihat plang kehadiran pejabat dekanat yang menunjukkan bahwa pak dekan memang hadir. Setelah sampai di kantornya ternyata belia tidak ada.
Aku mencari pak Dekan ke setiap sudut kantor tapi hasilnya nihil, aku tidak menemukan beliau. Mungkin beliau memang sudah berangkat, karena tadi Andi bilang kalau pak Dekan mau keluar sebentar lagi.
Itu ada pak Narjo, seorang TU kantor yang kebetulan sedang duduk manis menonton berita TV di ruangan TU kantor.
“Maaf pak.. Pak Dekan mana ya?”
“Pak Dekan belum datang” pak Narjo menjawab dengan tegas.
“Tapi di plang beliau kok ada ya?” dengan perasaan heran aku kembali mempertanyakaan kehadiran pak Dekan.
“O.. itu kemarin.. belum diubah lagi”
Mendengar jawaban pak Narjo, aku sedikit kecewa. Dan kembali ke kelas.
Masya Allah.. Sudah setengah delapan. Aku lupa kalau hari ini aku telat masuk. Aku tergesa-gesa kembali menuju kelas. Masalah pak Dekan nanti saja aku temui. Barangkali Pak Narjo belum melihat pak dekan hari ini.
Sesampainya di depan kelas, aku berusaha masuk kelas dengan mencoba mengalihkan perhatian Pak Sudi. Aku mengetuk pintu sambil mengucap salam, walaupun sebenarnya pintu kelas tersebut terbuka lebar.
Tok.. Tok.. Tok “Assalamu’alaikum.. Maaf Pak, saya terlambat”
Dengan perasaan bersalah aku langsung menuju beliau dan meminta maaf. Aku berharap aku akan diizinkan masuk kelas dan belajar bersama teman-teman yang lain.
“WA’ALAIKUM SALAM WARAHMATULLAHI WABAROKATUH”
Seluruh teman-teman menjawab salamku dengan serempak, kompak, mantap, dan penuh semangat. Heran, tidak biasanya seperti ini. Kalau ada yang mengucap salam biasanya kami hanya menjawab seikhlasnya seakan-akan takut kehilangan suara bahkan ada juga yang tidak menjawab padahal mereka tahu kalau menjawab salam itu wajib hukumnya. Ah.. mungkin mereka mengejekku karena aku terlambat pagi ini.
“Wa’alaikum salam. Marvel, pintunya ditutup dari luar!”
Pak sudi menjawab salamku dengan tegas. Perintahnya yang terakhir membuatku ketakutan untuk menyampaikan alasan keterlambatanku. Tapi aku akan tetap berusaha agar aku bisa masuk kelas pagi ini.
“Ma’af Pak. Tadi jalanan macet. Ada kecelakaan sesampai di depan kelas pun saya dipanggil pak dekan, tapi ternyata beliau juga tidak ada di kantor padahal aku sudah mencarinya”
Dengan mulut yang sedikit bergetar dan alasan yang berbelit-belit aku mencoba merayu pak Sudi agar aku diizinkan masuk. Bahkan aku berbohong agar boleh masuk kelas dengan menyebutkan ada kecelakaan di jalan. Ya.. berita kecelakaan yang aku dengar tadi pagi di radio.
Tapi pak Sudi mengan dosen yang tidak kenal alasan, bahkan rayuanku pun tak mempan.
“Pintunya ditutup dari luar”
Tidak biasanya beliau seperti ini. Setahuku, beliau adalah dosen yang ramah, penuh perhatian, dan dekat dengan mahasiswa termasuk denganku. Tapi pagi ini beliau terasa jauh sekali seperti aku sedang tidak mengenalnya lagi. Atau apa memang ia lupa denganku. Kalau pintunya ditutup dari luar tentu aku tidak bisa masuk kelas. Tidak mungkinlah kalau aku masuk kelas dari jendela. Apalagi dari atap. Padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin agar pagi ini aku tidak terlambat masuk kelas.
Dengan menggigit jari aku ke luar ruangan kelas dan tidak lupa melaksanakan perintah pak Sudi untuk menutup pintu kelas dari luar. Mukaku merah merona. Malu dengan teman-teman semua mata terlihat mengarah kepadaku tapi tatapan mereka menyimpan seribu rahasia. Bukan perasaan kasihan yang aku rasakan, tapi senyuman. Senyuman manis teman-teman yang terpancar dari bibir dan matanya.
Alhamdulillah, di depan kelas ada bangku tempat kami biasa nongkrong. Walaupun tidak bisa masuk kelas tapi tetap bisa belajar. Tembok dan kaca-kaca jendela kelas tidak menjadi penghalang. Karena kelasku tidak terlalu tertutup. Kaca-kaca temboknya hanya setengah tembok jadi suar dari luar masih jelas terdengar di telinga.
Aku duduk manis sambil melihat ke dalam kelas, mendengarkan penjelasan pak dosen. Hal ini mengingatkanku pada sesosok pejuang perempuan bangsa ini, Kartini. Permpuan yang pernah memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan sama seperti laki-laki. Aku tersenyum kepada teman-temanku perempuanku yang sedang berada di dalam kelas. Aku melihat Kartini-Kartini baru tetap memperjuangkan nasib perempuan dengan tidak menyia-nyiakan perjuangan Kartini membebaskan perempuan untuk dapat mendapatkan pendidikan setara dengan laki-laki.
Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul delapan, sekitar setengah jam lagi kelas akan berakhir. Tapi ternyata masih ada temanku yang terlambat datang masuk kelas. Ayu namanya, persis seperti orangnya yang memang benar-benar cantik dan pujaan setiap kaum Adam yang ada di kampusku. Bukan cuma cantik, ia juga pintar dan cerdas aktif dalam berbagai kegiatan mahasiswa. Bahkan yang membuatku salut ia memang berbeda dengan wanita lain. Sangat menjaga kehormatan sebagai seorang perempuan. Bahkan ketika berbicara dengan lawan jenis ia senantiasa merundukkan pandangannya dan merendahkan suaranya. Seandainya...
Aku hanya tersenyum melihatnya. Aku tahu kami sama-sama terlambat dan membiarkannya begitu saja masuk ke dalam kelas. Dalam hati aku berfikir nanti anak ini bakal di depak juga dari dalam kelas oleh Pak Sudi.
Setelah masuk kelas Ayu langsung dipersilahkan duduk oleh Pak Sudi. Aku mulai geram dan berpikiran buruk terhadap Pak Sudi. Aku yang terlambat setengah jam disuruh menutup pintu dari luar sedangkan Ayu yang terlambat satu jam lebih dipersilakan duduk manis begitu saja. Ini tidak adil, jangan-jangan antara Pak Sudi dan Ayu ada apa-apanya. Kami kan sama-sama mahasiswa walaupun aku sadar aku banyak kekurangan dibandingkan Ayu.
Astagfirullah.. kok aku berfikiran seperti ini. Aku mencoba menenangkan diri dengan tetap duduk manis di depan kelas. Karena walaupun aku ga masuk aku tetap bisa belajar dan mendengarkan penjelasan Pak Sudi. Aku hanya bertekat untuk tidak terlambat di lain waktu.
Sesaat sebelum keluar jam kuliah berakhir, seorang mahasiswa diminta untuk memanggilku masuk ke dalam kelas. Perasaanku mulai lega. Tapi menurutku ya sama saja. Aku dipanggil masuk kelas setelah jam pelajaran hampir selesai. Paling-paling hanya dikasih tugas untuk dikerjakan di rumah. tapi tidak mengapalah yang penting aku sudah diperslihkan masuk.
Setelah mengucap salam aku langsung masuk kelas. Tapi aku kaget, tiba-tiba pak Sudi bernyanyi bersama teman-teman yang lain. Kompak, semangat, dan penuh senyuman. Ditambah lagi iringan tepuk tangan dari seluruh teman-teman membuat suasana bertambah hidup. Menandakan bahwa hari ini adalah hari bahagia.
“Happy birthday to you… Happy birthday to you…”
“Happy birthday… Happy birthday…”
“Happy Birthday to you...”
Aku diminta meniupkan lilin yang sudah disiapkan oleh teman-teman.
“Tiup lilinnya... Tiup lilinnya...”
“Tiup lilinnya sekarang juga... Sekarang juga...”
“Sekarang juga...”
Tiba-tiba air mataku menetes. Ternyata teman-teman memiliki perhatian yang lebih kepadaku dibandingkan dengan diriku sendiri, pemilik raga ini. Aku sendiri lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku tidak salah menilai pak Sudi. Beliau benar-benar sangat perhatian sampai di hari yang mengharukan ini ia memberikan aku kado ulang tahun dengan cara mengerjaiuku.
Ternyata Andi dan Ayu adalah skenario pak Sudi untuk menguji kesabaranku. Andi diperintahkan untuk menghalangiku masuk kelas agar aku terlambat. Sementara Ayu hampir saja memancing emosiku kemarahanku terhadap Pak Sudi. Mata teman-teman yang tadinya menyimpan seribu bahasa ternyata mereka sudah tidak sabar mengucapkan selamat ulah tahun kepadaku.
Mereka meminta maaf karena telah mengerjaiku, tapi menurutku tidak ada yang perlu dimaafkan aku hanya bisa berterima kasih kepada mereka atas perhatian yang merek curahkan terhadap diriku, bahkan melebihi diriku. Walaupun hanya hidup sebatang kara di perantauan tetapi di sini aku menemukan sejuta keluarga yang selalu menemaniku dalam keadaan susah maupun senang..
Waktu sudah menunjukkan pukul 8.40 Wib, waktunya untuk berganti jam pelajaran. Kali ini pelajaran baru akan dimulai lagi setelah pak Sudi keluar dari ruangan kelas. Di jam yang selanjutnya ruangan kelas kami masih di tempat yang sama, jadi kami tidak perlu sibuk berpindah ke ruang lain.
Setelah menunggu sepuluh menit, dosen berikutnya belum datang juga. Setelah ini yang masuk adalah Pak Karto, dosen Filsafat. Andi mencoba memanggil Pak Karto ke ruang dosen. Sebelum keluar ruangan tiba-tiba terdengar salam dari pak Karto.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alikum salam Warahmatullahi wabarakatuh”
Teman teman menjawab salam Pak Karto dengan sempurna sambil mempersiapkan duduk mereka masing-masing untuk menerima pelajaran filsafat dari Pak Karto. Keadaan menjadi tegang. Semua mahasiswa takut dengan Pak Karto karena beliau terkenal dosen yang paling disiplin sehingga teman-teman menyebutnya si Killer.
“Kok terlambat Pak?”
Saya mencoba mencairkan suasana dengan memberanikan diri bertanya kepada beliau. Teman-teman heran. Aku yang berusaha mencairkan suasana malah sebaliknya, semakin tegang dan semuanya terdiam. Seandainya ada jarum jahit yang terjatuh pun mungkin akan jelas kedengaran. Tapi aku tidak takut. Menurutku ini adalah bentuk perhatianku terhadap beliau. Aku hanya mencoba mencari alasan beliau atas keterlambatannya. Tadi aku terlambat tapi seluruh alasanku ditolak oleh Pak Sudi walaupun sebenarnya mereka cuma mengerjaiku.
Aku hanya penasaran. Seorang mahasiswa kalau terlambat biasanya memiliki seribu alasan yang mungkin juga dibuat-buat. Sekarang apa alasan seorang dosen yang datang terlambat. Karena sepengetahuanku Pak Karto sering menuntut mahasiswa untuk disiplin, maka ia pun harus disiplin memberikan contoh pada mahasiswanya.
“Tidak ada kata untuk terlambat. Dikatakan terlambat jika dosen masuk kelas mendahului mahasiswa”
Tiba-tiba teman-teman tertawa mendengar jawaban Pak Karto. Sepertinya tidak ada yang lucu. Tapi teman-teman kenapa tertawa. Apa makna tawa yang kelur dari mulut teman-teman itu. Bahkan aku hanya tersenyum sinis mendengar jawaban yang begitu ringan. Dalam benak, aku hanya berpikir mungkin karena alasan ini terlalu banyak dosen yang terlambat masuk kelas.
(Diterbitkan dalam Antologi Cerpen "Sekolah Kolang Langit" Forum Lingkar Pena (FLP) Semarang, Semarang: pm-publisher, 2011)
0 Comments:
Posting Komentar