“Demi masa. Sungguh manusia benar-benar berada
dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan saling
menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.”
(QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Ketika
mendengar kata ‘beruntung’, maka pikiran kita cenderung akan tertuju pada jual
beli. Ya, memang tidaklah salah karena kata ‘beruntung’ identik dengan laba,
selisih nilai antara nilai beli yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai
jual. Jika demikian, maka orang yang melakukan perniagaan disebut orang yang
beruntung. Namun sebaliknya, jika nilai jual lebih kecil dari nilai beli maka
si penjual termasuk orang yang merugi.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa kata beruntung memiliki
tiga arti, yaitu: 1) berlaba; mendapat laba; 2) bernasib baik; mujur; bahagia;
dan 3) berhasil (maksudnya, usahanya, dan sebagainya); tidak gagal. Lawan kata
dari ‘beruntung’ adalah merugi. Dalam KBBI disebutkan bahwa ‘merugi’ memiliki
arti, 1) (terjual) kurang dari harga beli; 2) kurang dari modal; 3) tidak
mendapat faedah (manfaat); dan 4) sesuatu yang kurang baik. Jika dilihat dari
pengertian-pengertian tersebut maka kata untung atau rugi tidaklah sepenuhnya
berkaitan dengan perniagaan, tetapi juga bisa masuk dalam hal yang diperoleh
oleh manusia baik yang bernilai positif atau negatif.
Jika kita
ditanya, mau jadi orang yang beruntung atau merugi? Maka tentunya tidak ada
satu manusia pun di dunia yang mau menjadi orang yang merugi. Tapi, pada
kenyataannya, apakah semua orang beruntung? Kita pasti bisa menjawabnya bahwa
tidak semua manusia yang hidup di muka bumi ini beruntung. Banyak di antara
manusia yang dapat digolongkan sebagai orang yang merugi. Lantas di mana posisi
kita? Semoga kita menjadi orang yang beruntung.
Untuk
mengetahui pengertian dari “beruntung” atau “merugi”, maka perlu kiranya kita
merujuk pada Al-Qur’an atau Al-Hadits sehingga kita terhindar dari pemahaman
yang sempit, bias, dan subjektif. Makna
hakiki dari beruntung dapat dilihat seperti yang difirmankan oleh Allah subhanahuwata’ala
dalam Al-Qur’an surat Al-‘Ashr ayat 1-3 yang artinya, “Demi masa. Sungguh
manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan
beramal saleh dan saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam
kesabaran.”
Berdasarkan
surat tersebut dapat ditadabburi bahwa ada empat golongan manusia yang
tidak akan merugi. Mereka itu adalah orang yang beriman, orang yang beramal
saleh, orang yang saling menasihati dalam kebenaran, dan orang yang saling
menasihati agar selalu bersabar. Mereka adalah orang yang sepantasnya disebut
beruntung. Dan sebaliknya, empat golongan manusia yang merugi yaitu mereka yang
tidak beriman, yang tidak beramal saleh, yang tidak saling menasihati dalam
kebenaran, dan yang tidak saling menasihati agar selalu bersabar.
Jika
dilihat dari golongan yang disebutkan, maka terlihat dengan jelas bahwa
keberuntungan yang dimaksudkan memiliki dimensi duniawi dan ukhrawi. Keimanan,
amal saleh, saling menasihati dalam kebenaran dan juga kesabaran memiliki
pengaruh terhadap kehidupan seseorang baik di dunia maupun di akhirat. Yang
mana antara yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Orang yang beriman
seyogianya dia akan beramal saleh, amal pun haruslah berdasarkan pada keimanan.
Serta untuk menjaga agar tidak keluar dari jalur yang seharusnya, dituntut
untuk saling menasihati dalam kebenaran. Dan dibutuhkan kesabaran dalam saling menasihati,
karena dalam menasihati itu terkadang tidak cukup hanya dalam satu kali saja.
Selain
dari Al-Qur’an, sumber utama hukum Islam, perlu juga kita melihat bagaimana
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan untung dan rugi. Dalam
sebuah hadis masyhur namun periwayatan diketahui lemah, disebutkan, “Barang
siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka ia termasuk orang yang
beruntung; barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka ia termasuk
orang yang merugi, dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin
maka ia termasuk orang yang celaka”.
Meskipun
hadis ini lemah dan tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam mengambil
hukum, namun bisa digunakan sebagai motivasi diri dan tazkiyatunnafs untuk
pengembangan diri untuk selalu menjadikan lebih baik dari hari ke hari. Dan hadis
ini dapat dijadikan untuk mengukur diri apakah kita termasuk orang yang untung,
rugi, atau celaka.
Ambillah
kegiatan harian yang kita lakukan setiap hari sebagai contoh. Dalam hal ibadah,
kita dapat melihat pada shalat kita. Kalau kemarin yang shalat kita masih
bolong-bolong, maka hari ini kita usahakan untuk kita sempurnakan. Kalau
kemarin kita shalat jama’ah di masjid hanya satu atau dua waktu, maka hari ini
mari kita usahakan untuk disempurnakan genap lima waktu. Yang lain, misalkan
dalam hal bangun di pagi hari. Jika
kemarin kita bangun ketika iqamah subuh, maka hari ini kita usahakan
bangun ketika adzan atau bahkan sebelumnya sehingga kita bisa melakukan shalat
sunnah fajr dan shalat berjama’ah di masjid.
Semoga
kita termasuk orang yang beruntung seperti yang disampaikan pada hadits di atas,
yaitu orang yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Mulai memperbaiki
diri dari hal-hal kecil yang sederhana. Shalat kita, baca Al-Qur’an kita,
bangun tidur kita, pola makan kita, membaca buku, kebersihan, kesehatan, dan lain-lain baik
yang berupa ibadah mahdhah maupun yang bukan mahdhah. Karena
segala sesuatu yang kita lakukan tentunya bisa bernilai ibadah bila dilakukan
ikhlas karena mengharap ridha Allah. Jangan mau kalau hari ini sama dengan hari
kemarin sehingga kita termasuk dalam golongan orang-orang merugi apalagi jika
lebih buruk dari sebelumnya sehingga kita bisa masuk pada golongan orang yang
celaka.