Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Program Doktor Pendidikan Islam –
Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Begitu Nadiem Makarim (35 tahun) diumumkan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), dunia warganet heboh. Ini kejutan luar biasa! Meskipun banyak kritikan, tapi ada juga beberapa warganet berharap, Menteri Nadiem melakukan ‘sesuatu’ yang tidak biasa-biasa saja untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia.
Toh, Kabinet sudah diumumkan. Bahasa agamanya, itu sudah takdir! Mungkin, Nadiem pun tak pernah bermimpi menduduki pos Menteri Pendidikan, yang biasanya termasuk ‘kursi elite’ dalam jajaran kabinet di banyak negara.
Bagi orang Islam, suatu peristiwa pasti ada hikmahnya. Mungkin, siapa tahu, lewat ‘tangan’ Nadiem Makarim, dunia pendidikan Indonesia akan dipaksa untuk berpikir serius, lalu berubah secara mendasar! Itu mungkin! Bisa terjadi, bisa juga tidak!
Dan memang, faktanya, pendidikan Indonesia kini perlu perubahan mendasar, dalam berbagai aspeknya. Pertama, fokus utama pada tujuan pendidikan akhlak! UUD 1945 pasal 31 (3) mengamanahkan, pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketaqwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa!
Itu amanah konstitusi. Itu pula amanah UU Sisdiknas No 20/2003 dan UU Perguruan Tinggi No 12/2012. Orang muslim sangat akrab dengan misi utama Nabi Muhammad saw, yakni beliau diutus untuk ‘menyempurnakan akhlak manusia’ (buitstu li-utammima makarim al-akhlaq).
Misi penyempurnaan akhlak peserta didik inilah yang sepatutnya menjadi perhatian utama Menteri Nadiem. Nabi Muhammad saw menyebutkan, orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya. Orang yang berakhlak mulia, pasti menjadi orang hebat dan berguna!
Nabi mengajarkan suatu doa: “Ya Allah, hindarkan aku dari sifat malas dan lemah!” Nabi mengajar dan memberi contoh, bagaimana menjadi orang jujur, pekerja keras, terpercaya, rendah hati, penyayang, peduli kebersihan, tidak sombong, tidak pendengki, tidak pesimis apalagi putus asa!
Jangan sampai dunia pendidikan Indonesia melahirkan manusia-manusia yang pintar cari makan, tetapi jahat, serakah, dan tidak peduli pada sesama insan. Apalagi, melahirkan manusia tidak professional, tidak berguna, dan buruk pula akhlaknya. Na’udzubillah!
Pakar pendidikan Islam, Prof. Ahmad Tafsir (77 tahun), beberapa kali menceritakan kepada saya, bahwa sejak era 1980-an, beliau ingatkan pemerintah, agar pendidikan kita berbasis kepada pendidikan Akhlak Mulia, bukan kepada sains dan teknologi! Menurut Ahmad Tafsir, jika tidak punya teknologi, kita masih bisa beli. Tapi, kalau tidak punya akhlak, kemana membelinya? Dan pemikiran itu logis, sebab bangsa rusak, karena akhlak rusak.
Kedua, reformasi sistem dan kurikulum pendidikan. Dalam buku “Perguruan Tinggi Ideal di Era Disrupsi” (YPI at-Taqwa:2019), saya mengisahkan hasil dialog saya dengan Prof. Nanang Fattah (68 tahun), guru besar UPI Bandung, pada 28 Januari 2019. Penulis menikmati ide-ide segar Prof. Nanang Fattah tentang reformasi pendidikan.
Salah satu yang menarik adalah gagasannya tentang standar pendidikan. Menurutnya, pendidikan sebaiknya berpegang pada satu standar kompetensi, yaitu standar kompetensi lulusan. “Pendidikan itu based on result, bukan based on process,” katanya.
Bahkan, pada awal reformasi, beliau sudah usulkan, agar pendidikan tingkat SD cukup 4 tahun, SMP 2 tahun, dan SMA 2 tahun! Tapi, kurikulumnya harus bersifat dinamis, mengikuti dinamika sosial. Gagasan Prof. Nanang Fattah ini, menarik, rasional, dan kontekstual.
Saat berbicara dalam satu seminar oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTISI), bersama Dr. Yudi Latif dan Dr. Marzuki Ali, saya pernah sampaikan, agar ada perubahan mendasar dalam sistem dan kurikulum Pendidikan Tinggi. Contoh, menurut penulis, untuk menjadi wartawan profesional, tidak perlu pendidikan tingkat S-1 sampai 4 tahun. Begitu juga untuk menjadi guru TK, perawat, dan sebagainya! Profesionalisme tidak diukur dari berapa lama dan berapa banyak materi kuliah yang ia pelajari. Tapi, kompetensi apa yang ia sudah kuasai!
Pada 17 Oktober 2019, melalui akun instagramnya, cendekiawan Indonesia, Yudi Latif menulis, bahwa banyak negara kini telah mengubah kurikulum pembelajaran dari spesialisasi menuju penyiapan pembelajar generalis yang mampu berpikir independen dan inovatif. Ia merujuk pada buku berjudul Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World, karya David Epstein (2019).
Tahun 2017, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menerbitkan buku berjudul “Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia”. Buku ini mengingatkan dunia Perguruan Tinggi untuk berubah secara mendasar dalam model pendidikannya, karena mulai merebaknya MOOCs (Massive Open Online Courses). Juga, perlunya penyiapan model pembelajaran yang multi dan interdisiplin, bukan lagi bersifat linier.
Itulah sedikit diantara masalah besar dunia pendidikan kita. Masih banyak yang lainnya! Salah satunya, peningkatan kualitas guru. Dalam acara Rountable Discussion di Lembaga Pengkajian MPR, 24 Oktober 2017, mantan Dirjen Dikti, Satryo Soemantri Brodjonegoro, menulis makalah berjudul: “Mempertanyakan Cetak Biru Pendidikan Indonesia”. Prof. Satryo termasuk diantara pakar dan praktisi pendidikan yang prihatin dan mengkhawatirkan masa depan pendidikan kita.
Jadi, bagaimana masa depan pendidikan kita di era Menteri Nadiem? Silakan cemas, tapi jangan putus asa! Harapan dan peluang perbaikan itu selalu ada! Siapa pun menterinya! Apalagi, sebagian besar lembaga pendidikan kita tidak bergantung kepada pemerintah. Wallahu A’lam bish-shawab! (Opini Harian Republika, 25 Oktober 2019).